Jumat, 30 Oktober 2009

Lemparan Batu dan Pilihan

Setelah sekian jam dilanda gempa yang cukup dahsyat, kota Pensylvenia di Amerika Serikat mengalami porak poranda yang cukup hebat. Oleh sebab itu pemerintah setempat merencanakan untuk memulihkan kota. Suatu saat mandor bangunan yang memimpin renovasi melakuakn pengawasan terhadap pekerjaan perbaikan kota tersebut. Saking asyiknya berjalan-jalan sang mendor lupa bahwa beberapa langkah ke depan terbentang kabel listrik beraliran tinggi yang siap merengut nyawanya.
Pekerja yang ada beberapa meter di belakangnya melihat bahaya yang mengancam sang mandor, mereka mencoba mengingatkannya dengan berteriak. Namun teriakannya nyaris tak terdengar ditelan suara deriu mesin dan traktor. Demi menyelamatkan mandornya, pekerja tersebut mengambil batu kecil dan melempar kepalanya. Begitu sang mendor menoleh ke belakang, pekerja yang melemparnya tadi langsung angkat tangan dan menunjuk ke kakii sang mandor. Apa yang dilihat nya membuat sang mandor shock dan kagetluar biasa. Karena dua langkah ke depan kakinya akan menyentuh kabel listrik bertegangan tinggi. Untung ada pekerja yang melemparkan batu ke arah kepalanya untuk mengingatkan bahwa ada bahaya besar yang siap mengancam. Kepala sang mandor memang berdarah, namun nyawanya tertolong.

Terkadang dalam kehidupan ini telinga kita sudah terlalu kebal terhadap suara-suara peringatan yang bertujuan membawa kita ke arah kehidupan yang lebih baik. Polularitas, ambisi, kekayaan, kesombongan, dan segala kompetensi yang dimiliki sering membutakan nurani dan menumpilkan ketajaman pendengaran kita terhadap alunan musik instropeksi yang merdu. Ada kalanya seseorang harus dilempar batu dulu untuk memposisikannya kembali agar tidak terjerumus lebih jauh. Itulah sebabnya lemparan batu seyogjanya dimaknai sebagai bagian dari pengembangan kualitas yang lebih optimal, sekalipun mungkin lingkungan memaknainya sebagai kegagalan, kejatuhan maupun kehancuran. Kita jadi teringat apa yang dikatakan Confesius… bahwa kemenangan yang pailing besar bukanlah karena kita tidak pernah jatuh melainkan karena kita bangkit setiap kali jatuh.
Ketika hari ini kita mendengar suara mengalunkan instrospeksi merdu maupun merasakan lemparan batu yang begitu terasa menyakitkan, akankah dimaknai sebagai bagian dinamika hidup atau sebagai kejadian yang harus dihindari? “Life is choice” atau hidup adalah pilihan, demikian klaim seorang filusuf. Tidak heran karena kita sebenarnya dihadapkan pada pilihan-pilihan yang harus diputuskan capat atau lambat. Memaknai setiap lemparan batu pun merupakan suatu pilihan. Kitalah yang memilih mau menjadi manusia yang berguna atau tidak, sebab salah satu anugerah besar tuhan yang diberikan adalah The Power of choice/kekuatan untuk memilih. Selamat memilih jalan menuju pemaknaan hidup yang optimal. (iwed)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar